Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Saturday, July 20, 2013

PEMIKIRAN SYEKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI DAN GERAKAN KRITIK HADIS MODERN

Pemikiran Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani  dan Gerakan Kritik Hadits Modern



Dunia keilmuan hadits oleh sebagian kalangan intelektual dianggap sebagai wilayah yang sudah tua, tidak berkembang, bahkan dikatakan sudah mati. Hal itu dikarenakan adanya stereotip yang dilekatkan pada kajian ini menyangkut otoritas hadits Nabi Saw . yang dianggap sudah mapan dan generasi sesudahnya tidak bisa lagi ikut menganalisa terutama dalam proses tashhih wa tadh’if atau verifikasi suatu hadits untuk menentukan nilai keshahihan atau kelemahannya. Demikian diletupkan oleh Ibnu Shalah yang berpendapat bahwa proses tahshih wa tadh’if adalah hak prerogatif dari para ulama kritikus hadits periode mutaqaddimin (terdahulu), tidak untuk  muta’akhirin (belakangan) dan  berakhir pada  pertengahan abad ke-5 H. Ibnu Shalah merekomendasikan para ulama dan umat  setelah masa itu agar mengambil hadis dari karangan-karangan  yang terkumpul di dalamnya hadis-hadis shahih seperti Shahih Bukhari dan Muslim, Mustadrak 'ala Shahihain Hakim al-Nisaburi, Shahih Ibnu Hibban, dan atau Shahih Ibnu Huzaimah.

Namun hemat Al-Albani, sebagaimana para pendahulunya sesudah era Ibnu Shalah -seperti Ibnu Katsir, al-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-Asqalani-, hasil kerja-ijtihad para ulama mutaqaddimin memang patut diapresiasi namun tidak bisa dilepaskan dari adanya beragam kesalahan dikarenakan standar kesalahan, baik dalam matan maupun sanad akan bertambah sejalan dengan alur sejarah. Maka keniscayaan untuk melakukan studi ulang atas karya para ulama klasik itu.  Pun kondisi riil umat Islam yang sering menggunakan hadits tanpa mengetahui asal-usul dan statusnya. Parahnya, hal itu juga dilakukan oleh para ulama yang sering menggunakan hadits hanya sekedar mencantumkan dan mengaburkan atau menghilangkan catatan kaki alias plagiat disebabkan minimnya pengetahuan mereka akan hadits Nabi Saw. Demikian ketika ia mengkritik riwayat-riwayat dari al-Waqidi yang dijadikan referensi dalam buku Fiqh Sirah oleh Said Ramadhan al-Buthi. Faktor lain adalah kurangnya pengetahuan dan perhatian umat akan hadits Nabi Saw., serta kecenderungan terlalu memporsikan kajian fikih. Maka al-Albani heran ketika seorang ulama pengasuh rubrik di suatu majalah Islam ditanya pembacanya, apakah nanti di hari akhir binatang juga termasuk makhluk yang dibangkitkan?  Pengasuh rubrik itupun menjawab “tidak” dengan mendasarkan pada pendapat Imam al-Alusi dalam tafsirnya, ‘Ruhul Ma’aniy”. Segera ia membenarkan dengan mendatangkan  sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. dalam Shahih Muslim (6532), “Di hari kiamat kelak, setiap hak akan diberikan pada ahlinya (orang yang punya hak), sampai hak seekor kambing yang tidak bertanduk diambilkan dari kambing yang bertanduk.

Sosok Al-Albani dan pemikirannya sebagai bahasan dalam tulisan ringkas ini adalah salah satu ulama kritikus hadits modern, di mana hasil ijtihadnya mengenai status suatu hadits sering dijadikan referensi oleh banyak kaum muslim dan dianggap reperesentatif oleh sebagian umat Islam, jika hasil verifikasi itu datang darinya. Namun kritik juga banyak dialamatkan padanya oleh sebagian kalangan. Siapakah Al-Albani? Metodologi apa yang ia gunakan dan apa implikasinya bagi kajian hadits selama ini?         

Al-Albani dilahirkan di kota Ashkodera, ibukota Albania pada tahun 1914. Namun ia kebanyakan menghabiskan masa mudanya di Damaskus, Siria. Sekitar umur 20 tahun ia menyelesaikan karyanya yang pertama tentang hadits dengan menulis komentar atas kitab al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya min al-Akhbar karya al-Iraqi, berupa kajian verifikatif  terhadap hadits-hadits dalam kitab Ihya’ Ulumudin-nya Imam al-Ghazali. Selanjutnya ia belajar secara otodidak terutama dengan banyak kitab dan manuskrip di perpustakaan Zhahiriyah di Damaskus. Di mana kita ketahui, Damaskus adalah salah satu kota poros keilmuan Hadits dengan Madrasah hadits Zhahiriyah dan Asyrafiyah-nya. Sekitar tahun 1960an ia diminta mengajar oleh koleganya, Abdulah bin Baz, di Universitas Islam Madinah dan diangkat menjadi gurubesar kajian Hadits di sana. Ia termasuk orang yang memprakarsai kajian kritik sanad sebagai matakuliah independen pada Departemen Hadits. Untuk karya, ia kurang lebih telah menghasilkan sekitar 117 buku, baik berbentuk catatan kritikal filologis atas berbagai manuskrip serta kitab turats atau berbentuk karya independen. Di antaranya; Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitab wa al-Sunnah dan Silsilah al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah wa atsaruha as-Syai’ fi al-Ummah (kumpulan hadits dha’if dan palsu). Dalam karya-karyanya itu, ia  telah mengidentifikasi kurang lebih 990 hadits yang diangap autentik  oleh kebanyakan ulama Muslim, namun olehnya dianggap lemah. Maka ia pun menuai kritik dari berbagai kalangan, di antaranya dari Hasan bin Ali as-Saqaf yang menulis Tanaqudhat  al-Albani al-Wadhihat, juga Ramadhan al-Buthi yang menulis al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’atin  Tuhaddidu asy-Syar’iah al-Islamiyyah. Dari perspektif mazhab fikih, al-Albani cenderung kepada mazhab Hanbali, demikian ketika ia memverifikasi kitab hadits hukum mazhab Hanbali, Irwau'l Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar al-Sabil, meski ayahnya sendiri, Haji Muhammad Nuh adalah seorang penganut mazhab Hanafi tulen. Ia meninggal pada 2 Oktober 1999 (1420 H), di mana sebelumnya dunia Islam juga kehilangan ulama besar lainnya yaitu Syekh Abdulah bin Baz dan Syekh Muhammad al-Ghazali, kemudian disusul oleh Syekh Muhammad Shalih bin al-Utsaimin.

       Sebenarnya tidak ada yang baru dalam metode yang digunakan oleh al-Albani untuk menentukan  autentitas dan kepalsuan sebuah hadits. Ia juga tetap berpegang pada metode yang telah digunakan oleh para ulama kritikus hadits pendahulunya yaitu dengan tetap berpegang pada analisa isnad, lalu mengacu dan menggunakan informasi-informasi yang  ada dalam kitab-kitab biografi (tarajum) para rawi. Ia tetap setia memakai metode takhrij, yaitu memperlihatkan kepada orang lain sumber munculnya hadits dengan menyebutkan silsilah perawinya secara lengkap.  

            Takhrij, menurut Abdul Muhdi Abdul Hadi (2006), secara terminologi, dalam sejarah keilmuan hadits mengalami tiga fase. Pertama, takhrij hanya menyebutkan hadits lengkap dengan sanadnya, kemudian seorang mukharrij (perawi terakhir- seperti Bukhari dan Muslim) hanya memberikan komentar sekedarnya atas keadaan sanad, bahkan terkadang mengkritik matannya. Fase selanjutnya, seorang mukharrij di samping menyebutkan sanad hadits secara lengkap, juga berusaha menyebutkan sanad lain sebagai penguat bagi hadits pertama. Pada fase ketiga, setelah seluruh hadits dikodifikasikan, maka takhrij hanya dimaksudkan mengembalikan hadits-hadits kepada sumber-sumber aslinya. Takhrij bagi al-Albani di samping mengembalikan hadits kepada sumber aslinya,  juga menyertakan penilaian atas hadits tersebut dan meneliti setiap pendapat ulama mengenai perawinya sehingga akhirnya dapat melakukan sebuah tarjih dari sekian banyak komentar ulama atas keadaan sebuah hadits baik dari segi sanad maupun matannya.

             Ketika mempraktikan metode ini, al-Albani tetap memegang prinsip keotentikan hadits-hadits yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim sebagai kitab kedua yang paling absah dan shahih setelah al-Quran. Sehingga ketika men-takhrij hadits-hadits kedua kitab itu, ia hanya menyebutkan letak dan nomor urutnya tanpa memberikan komentar  mendetail. Cukup ia menuliskan ungkapan semisal; "shahih, rawahu as-Syaikhani", "shahih, rawahu al-Bukhari" atau “rawahu Muslim", meski sebagian perawinya ada yang lemah. Demikian menegaskan akan keshahihan hadits-hadits dalam dua kitab kanonik tersebut. Berbeda ketika ia menganalisa  hadits-hadits dalam kitab sunan, semisal Sunan an-Nasaiy, Abi Dawud, Tirmidzi, dan kitab hadits lain seperti Mustadrak al-Hakim, Shahih Ibnu Hibban, atau Shahih Ibnu Huzaimah; di mana ia harus memberikan penilaian shahih, hasan atau dha’if setelah meneliti isnad-nya. Jika dalam sanadnya terdapat perawi yang tsiqah (terpercaya), maka al-Albani tidak banyak memberikan komentar, namun lebih mencukupkan komentar beberapa ulama. Akan tapi, jika salah satu perawinya diperdebatkan oleh para kritikus, maka terlebih dahulu ia menyalin seluruh komentar tersebut dan membandingkannya sesuai dengan kaidah Jarh wa Ta'dil (kajian rawi untuk menentukan diterima-tolak riwayatnya) untuk selanjutnya melakukan tarjih atas sanad tersebut. Karena menurutnya, meski kitab-kitab hadits itu sudah diklaim berisikan hadits-hadits yang shahih, namun masih banyak didapati hadits-hadits hasan, bahkan dha’if yang memerlukan penelitian lanjutan. Hasilnya, ia dapati  dalam Sunan Abi Dawud  hadits yang terkategori dha’if berjumlah 561 (Dha’if Sunan Abi Dawud) dan yang shahih 2.393 hadits (Shahih Sunan Abi Dawud).

             Dalam proses verifikasi, untuk kritik sanad ia menggunakan beberapa istilah Jarh wa al-Ta’dil yang dominan ia gunakan, di antaranya: (1) tsiqah untuk menunjukan hadits tersebut memiliki sanad dan penuhi kriteria hadits shahih; (2) shaduq atau jayyid (benar-baik) untuk kategori hadits hasan; (3) lam a'rifhu atau majhul (tidak terdeteksi) di gunakan ketika ia tidak mengetahui keadaan seorang rawi, apakah termasuk kategori tsiqah atau jayyid; (4) dha’if atau wahin untuk kategori hadits yang lemah sekali dan termasuk kategori hadits dha’if; (5) kadzdzab (pendusta) untuk kategori hadits maudhu’ (palsu) dan tidak dapat dijadikan landasan hukum. (Hamdani P., 2006)  

            Proses tarjih yang biasa ia lakukan terkait jika satu sanad hadits menuai perdebatan para ulama, dalam hal ini yang terpenting baginya adalah banyaknya sanad. Jika suatu sanad miliki perawi dha’if, ia tidak serta merta menilai dhaif. Tapi berusaha mencari sanad lain yang meriwayatkan hadits yang sama. Sebab jika memiliki silsilah perawi yang berbeda, kedhai’fannya -sebagaimana kesepakatan para ulama- bisa terangkat masuk  kategori hasan li-ghairihi yang dapat dijadikan argumen. Metode di atas bukannya tanpa syarat dan tidak sepenuhnya  hadits tersebut bisa diterima, akan tapi harus diperhatikan tingkat kelemahan yang dimiliki masing-masing silsilah sanad  sebuah hadits. Jika perawinya dinilai pendusta, meski terdapat  hadits penguat lain, tetap hadits tersebut tidak dapat diterima. Namun jika si perawi dinilai sekedar hafalannya kurang, ia bisa berubah  dari hadits dha’if menjadi hasan li-ghairihi jika memiliki sanad  lebih dari satu (Sulaiman Ayub, 2005). Ia juga biasa mendahulukan lafal tajrih daripada ta’dil, jika para kritikus mengomentari seorang perawi, meski tidak selamanya ia praktikan. Sebab baginya, diperlukan analisa yang mendalam terhadap  menu biografi para rawi yang ada dan komentar-komentar kritis terhadapnya, sehingga terlihat obyektif.

          Sedang untuk kritik matan, tidak berbeda dengan para pendahulunya, ia mensyaratkan beberapa di antaranya; (a) matan suatu hadits harus terhindar dari kelemahan susunan  kata dan lafalnya. Semisal didapati  kesalahan penggunaan kaidah gramatikal atau kosakatanya dinilai lemah. Di mana hal itu dapat menjadi indikator untuk melacak keabsahan hadits; (b) terhindarnya matan hadits dari kerancuan (syadzdz) akibat munculnya matan sanad lain yang  lebih kuat dari sanad yang pertama. Atau didapati dalam sanad suatu kecacatan  (‘illat)  akibat tercampurnya sabda Rasul Saw. dengan perkataan orang lain yang dapat menurunkan kualitas hadits: (c) hadits yang memiliki sanad yang lemah  tidak serta merta mengindikasikan matannya juga lemah. Sebab tidak jarang didapati hadits yang substansinya tidak menyalahi ajaran Islam, dianjurkan oleh al-Qur’an juga riwayat shahih, namun diriwayatkan oleh seorang perawi yang dinilai lemah oleh para kritikus hadits. Maka harus diusahakan pencarian sanad lain yang memiliki perawi yang kuat dan otomatis akan menguatkan hadits tersebut.

         Hasil kerja ijtihadiy al-Albani yang tersebar, hemat penulis berimplikasi pada berubahnya peta keilmuan hadits (dirayah dan riwayah) yang selama ini telah mapan kurang lebih 12 kurun. Ia dinilai sebagai pionir gerakan kritik hadits modern. Banyak ulama seperti Sayyid Sabiq, Yusuf al-Qaradhawi, dan Muhammad al-Ghazali memintanya secara langsung untuk  memverifikasi hadits-hadits yang tersebar dalam buku-buku mereka. Meski kadang al-Albani terlihat tidak konsisten dalam metodologi yang  digunakan, seperti ketika ia melemahkan  riwayat Abu az-Zubair dari Jabir tentang larangan kurban seekor domba yang berumur satu tahun (al-jadza’ min adh-dha’ni), kecuali dalam keadaan ketika seekor sapi yang cukup umur terlalu mahal atau sulit didapatkan di pasar (HR. Muslim, 5038). Ia menilai sanad ini tidak bersambung karena az-Zubair tidak secara langsung mendengar dari Jabir ra. dan menggunakan lafal ’an (atas otoritas dari). Pun para kritikus menilai Abu az-Zubair sebagai mudallis (penipu). Al-Albani mengatakan telah disepakati dalam ilmu hadits bahwa perawi mudallis haditsnya tidak dapat dijadikan argumen, apabila dia tidak menyatakan secara eksplisit (seperti lafal ‘an) untuk cara penerimaan haditsnya. Berbeda ketika seorang mudallis menyebutkan secara eksplisit (seperti sami’tu (aku mendengar)), maka haditsnya -hemat al-Albani-, bisa diterima. Namun tambah al-Albani, tidak diragukan jika riwayat Abu az-Zubair dari Jabir diriwayatkan oleh Laits bin Sa’ad yang telah mengklaim menerima dari az-Zubair, hanya hadits yang telah didengar oleh az-Zubair dari Jabir. Masalahnya, dari 960 hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, 360 lainnya diriwayatkan lebih lanjut oleh az-Zubair yang terekam dan tersebar pada kutub as-sittah.  Dan Imam Muslim merekam 194 hadits, dengan jalur az-Zubair-Jabir, di mana yang menggunakan lafal sami’a dan lafal serupa yang menunjukan periwayatan langsung sebanyak 69 kali, dan istilah ‘an sebanyak 125 kali. (K. Amin, 2009).  Dengan ini konsekuensinya, apakah 124 hadits lainnya dari az-Zubair-Jabir juga harus ditolak atau ditunda kehujahannya?

        Dalam biografinya “Hayat al-Albani, Atsaruhu wa Tsana’ ‘Ulama ‘Alaihi” setebal 2 jilid oleh M. Ibrahim Syaibani dan banyak tercermin dalam pengantar untuk karya-karyanya, al-Albani mengaku sangat menghargai budaya  kritik (naqd) –bahkan terhadap ayah dan koleganya sendiri- dalam dunia  ilmu,  dikarenakan manusia tak bisa dilepaskan dari adanya kesalahan. Ia sangat mengedepankan toleransi serta menjauhkan diri dari fanatisme mazhab, maka  ia sering mengkritik kalangan yang menjadikan hadits sebagai justifikasi bagi aliran-mazhabnya tanpa mengadakan verifikasi lebih jauh sehingga akan berimplikasi buruk bagi bangunan hadits Nabi Saw. yang menjadi sumber hukum syariat  Islam. Wallahu a’lam bis-shawwab.






0 comments

Post a Comment